Powered By Blogger

Biographi

Foto saya
Medan, Sumatera Utara, Indonesia
Jl. Sembada No.32 P. Bulan Medan Motto: BERIMAN, BERBUDI, BERILMU

Selasa, 05 Juli 2011

Wujud Visi Panggilanku ... By Pdt Albet Saragih

ANAK JALANAN (ANJAL)
SISI KEHIDUPAN PERLU di WARNA*
Oleh : Pdt Albet Saragih, MA., M.Pd.K




I. LATAR BELAKANG
Setiap insan manusia Tuhan ciptakan memiliki harkat dan martabat yang sama. Tidak ada yang terlahir berbaju bahan beludru, berkalung emas, atau bersepatu Bally. Semuanya lahir tanpa sehelai benang jua. Hanya faktor alam, kesempatan, keuletan, dan keberuntungan, anugerah dari Tuhanlah yang membuat kita berbeda, baik dalam penampakan, maupun seutuhnya. Namun secara eksistensial kita sama, sama-sama mahkota ciptaan Tuhan, sama-sama mahluk sosial, sama-sama butuh dicintai dan mencintai, sama-sama membutuhkan kecukupan jasmani, perlakuan yang adil, mendamba kedamaian, dan keharmonisan hidup, keluarga, masyarakat, berbangsa.
Anak Jalanan (Anjal) di Medan, sering dicap sebagai “sampah” yang mengotori wajah kota. Stigma yang melekat pada mereka adalah “freeman”, jorok, tidak disiplin, kasar, tidak ber-etika, wajah sangar, susah diatur, mata duitan, tidak hormat pada orangtua, pemalas, suka mabuk dan suka konsumsi narkoba. Mereka ada diperempatan jalan menadahkan tangan. Ada yang ngesot, ada yang jadi “supir” menuntun orang buta dewasa, ada anjal jalan kaki pukul goni, ada yang menjual panganan seperti roti nasi dsb, ada “manusia funk” yang berdandan seperti orang Barat mengamen, tukang semir sepatu, ada juga hidup dari “jual darah”. Mereka tidur seadanya. Di kolong jembatan Jl Perdana, dan kolong jembatan Jl Raden Saleh; di pendopo Lapangan Merdeka, di emperan-emperan toko di inti kota, di gedung-gedung tua sekitar Lapangan Merdeka, atau di seputar patung Jenderal Ahmad Yani Taman di depan RS Elisabet. Ada yang tiduran seadanya di seputaran lampu merah Simpang Pringgan, seputaran lampu merah Simpang Pos Padang Bulan, di seputaran bundaran Golden Petisah, atau di sekitar pemukiman kumuh (slumb) di sepanjang rel kereta api Jl. Thamrin sampai Jl. Pandu. Tapi sebagian lagi mereka pulang ke rumah orangtuanya atau walinya. Sebagian mereka di drop oleh orang tertentu dari pinggiran kota Medan.

Jadi boleh kita identifikasi bahwa yang digolongkan Anjal adalah :
1. Anak yang hidup di jalanan dari usia 1-17 tahun, baik bersama orang dewasa, maupun pribadi
2. Anak-anak yang mengamen di perempatan lampu merah
3. Anak-anak yang mengemis di jalanan, baik dengan berdiri dan menadahkan tangan, maupun dengan cara “ngesot” sambil menadahkan tangan
4. Anak-anak yang jualan koran, mengelap mobil di jalanan, menyemir sepatu, jual jajanan lainnya
5. Anak yang menjadi “supir” untuk menuntun orang dewasa baik laki-laki atau perempuan yang buta, termasuk buta ecek-ecek
6. Anak-anak yang “jual darah”, bukan donor darah
7. Anak-anak pemulung yang hidup di jalanan, atau tinggal di kolong jembatan

Apakah mereka penyakit sosial yang perlu dibasmi ??????. Karena itu mereka menjadi sasaran uberan Tim Penertiban Pemko. Payung hukumnya dibuatlah PERDA yang melarang masyarakat memberi kepada mereka. Ironis, memang. Di saat mereka bergumul untuk sesuap nasi, mereka dipandang dan diperlakukan kurang manusiawi.
Anak-anak jalanan sering kali jadi korban. Apakah dijadikan sebagai kurir bahkan korban narkoba, dilibatkan dalam semacam geng pencurian/pencopetan, korban sodomi, bahkan sebagian besar anjal ini korban “ngelem” sehingga badannya kurus kering. Anak-anak kecil menjadi korban eksploitasi orangtua/orang dewasa. Ada banyak anak-anak kecil “disewa” oleh orang dewasa untuk dibawa mengemis. Tujuannya tentu supaya masyarakat lebih menaruh iba, dan memberi sedekah. Supaya anak ini tidak rewel, mengingat panas yang menyengat, maka seringkali anak kecil yang digendong itu diberi makan obat tidur secukupnya. Maka pulaslah ia sepanjang hari.
Mereka mengemis di siang hari, malam pun mereka berkeliaran. Kalau mereka ditangkap Tim Penertiban untuk “dibina”, sebentar kemudian sudah nongol lagi di jalanan. Entah jalannya yang koyak, atau tempat pemeliharaan ikannya yang sengaja dibuat buka tutup, buka tutup; mari kita tanya kepada rumput yang bergoyang. Tempat-tempat rehabilitasi, maupun pusat pelatihan keterampilan remaja milik pemerintah, belum mampu menjawab persoalan yang ada. Karena pertambahan Anjal setiap tahun melebihi kemampuan pemerintah menanggulanginya. Sehingga dibutuhkan insiatif masyarakat, atau lembaga untuk mengambil bagian dalam masalah itu. Tapi yang pasti, para Anjal ini adalah insan ciptaan Tuhan yang harus dipulihkan Harkat dan Martabatnya. Mereka perlu diberdayakan. Mereka butuh pencerahan. Bukan dibenci, atau dicap negatif. Tapi butuh kepedulian kita semua. Bukan hanya bergumam, “ah kasihan sekali mereka” Tapi mari kita singsingkan lengan baju, raihlah tangan mereka yang sedang menggapai-gapai, sebelum tenggelam disedot bumi. Mereka ingin diselamatkan, dipulihkan, dan diberdayakan hidupnya.


II. APA YANG KITA LAKUKAN
Lembaga Cahaya Fajar (LCF) sudah lebih dua tahun terjun dalam pelayanan gepeng (komunitas kolong jembatan) ini. Sebenarnya Anjal ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari komunitas Gepeng (Gelandangan Pengemis). Kami sudah akrab dan bersahabat dengan mereka. Dari awal kami punya target. Setiap keluarga yang siap dibina dan dimuridkan untuk dipulihkan, maka orang/keluarga tersebut harus siap pindah dari kolong jembatan. Mereka disiapkan rumah sewa satu tahun di Gg Seroja Pasar IV, kawasan Tanjung Sari Medan, atau di Simpang Kongsi, Pancurbatu . Diberikan satu unit beca barang, sepeda, dan 2 ekor anak babi untuk diasuh. Setelah kami melihat keberhasilan recovery untuk keluarga gelandangan, rasanya kita tidak adil dan kurang sukacita kalau komunitas Anjal ini tidak dilayani juga. Sebab anak-anak ini adalah harapan bangsa dan juga gereja. Kalau kita menginginkan ke depan masyarakat kita maju, sejahtera, adil dan nyaman, maka anak-anak ini juga harus diberdayakan. Sebab kalau tidak mereka kelak akan menjadi “penyakit” yang menggerogoti masyarakat. Karena itu, kami ingin mengambil bagian dalam menolong, membimbing, mencerahkan kehidupan para Anjal ini sebagai bagian dari pengabdian kepada pemerintah, dan terutama kepada panggilan Tuhan. Menyingsingkan lengan baju, berani berkeringat, bergerak cepat berpacu dengan waktu untuk melakukan recovery bagi mereka.

III. Beberapa Metode Pelayanan

 Rumah Singgah Warna (RSW)
Sasaran Model Pemberdayaan Lembaga Cahaya Fajar (LCF) yang mendirikan Rumah Singgah Warna (RSW) ini difokuskan kepada para Anjal yang benar-benar memiliki kerinduan yang besar untuk merubah hidupnya. Dan itu kita amati dari bagaimana keseharian mereka yang gigih dan ulet. Tentunya banyak yang siap tetapi ada juga yang tidak. Memang tidak mungkin kita berdayakan mereka sekaligus. Biarlah sedikit demi sedikit dan bertahap. Kalau bisa ada 20 orang per tahun. Sesuai dana yang tersedia, kami dari RSW juga harus banyak belajar, mengevaluasi, dan mengkaji terobosan-terobosan model baru dalam pemberdayaan Anjal ini. Dengan begitu efektitas dan efisiensi pelaksanaan program terjamin. Sebab semuanya untuk kemulian Tuhan.

Visi : Menjangkau, memuridkan, memberdayakan Anak binaan untuk kemuliaan Tuhan
Misi : 1. Menjangkau dan menjadi sahabat bagi Anak Jalanan sebanyak-banyaknya
2. Memuridkan Anak-anak binaan untuk melakukan nilai-nilai hidup baru
3. Memberdayakan Anak-anak binaan untuk ketrampilan hidup (life skill)
Yang memungkinkan mereka tidak hidup di jalanan lagi

Tujuan : 1. Memulihkan dan mewarnai hidup anak binaan agar indah di mata Tuhan
2. Menjadi sahabat yang mengasihi dan mengayomi anak binaan
3. Memberdayakan segala talenta, agar mereka tidak hidup di jalanan lagi
4. Membimbing dan melatih anak binaan agar memiliki nilai hidup yang ulet, suka
bekerja keras, jujur, sopan santun, bertanggungjawab, setiakawan, dan memiliki
sikap pengasih.

Program Kerja 2010-2011

1. Pembinaan Rohani & Moral
A. Persekutuan membangun rohani/moral dilakukan setiap Jumat Pukul 17.00-18.00 WIB
B. Konseling Pastoral secara pribadi atas problem yang mereka hadapi
C. Retreat atau tamasya bersama untuk membangun keakraban
D. Membimbing, melatih dan menanamkan pola hidup bersih dan sehat
E. Membimbing, melatih dan menanamkan pola hidup sopan santun dan hormat, disiplin dan jujur
F. Menjalin kerjasama dengan lembaga lain untuk menangani rehabilitasi anak-anak binaan yang sudah kecanduan narkoba/psikotropika dan zat adiktif lainnya

2. Pembinaan Keterampilan (Life Skill)
A. Membangun kebersamaan dan kerja sama melalui latihan musik bersama setiap Jumat Pukul 16.00-18.00 WIB. Sekaligus mempersiapkan mereka untuk tampil pada acara-acara tertentu
B. Menyelenggarakan kegiatan/aktivitas yang bernilai untuk penyadaran, pendidikan dan pelatihan sesuai talenta dan bakat anak-anak binaan
C. Mengusahakan subsidi/beasiswa kepada anak-anak binaan yang kesulitan dana pendidikan
D. Bekerjasama dengan lembaga lain yang bergerak di bidang PKBM untuk menolong anak-anak binaan ikut peserta Paket A,B,C
E. Melatiah dan mengembangkan UKM , dan mikro financing

3. Target
1). Ada 20-an anak yang berkomitmen, dengan rentang usia 6-17 thn
2). 2 Kelompok pemusik yang solid
3). Tersedianya alat-alat music yang dibutuhkan :
a. 10 unit gitar klasik
b. 10 unit gitar keroncong
c. 2 unit keyboard Yamaha E 413
d. 2 unit Guitar Biola
e. 2 unit Drum akuistik
f. 5 unit harmonica
g. 2 unit speaker aktif utk keryboard
h. Seperangkat drum merek Yamaha
i. 5 unit perangkat computer
j. Baju seragam 2 pasang untuk setiap anak
Pendekatan Yang dilakukan
Puji Tuhan , dalam pelayanan di RSW ini kami sejak awal sudah punya Tim 6 orang; yakni (pengurus), Pdt Albet Saragih, Dra Elida Br Tarigan, Yetti Saragih, S.Th. Sementara relawannya, yaitu : Murni Lidia Pasaribu, S.Th, Erman Saragih, serta Angel br Purba. Para relawan ini bergaul dan bersahabat akrab dengan mereka. Mereka sering kali mengamen bersama. Kadang sore hari, dan lebih sering di malam Minggu. Hasilnya dibagi bersama. Mereka lebih dulu sudah latihan music dan lagu-lagunya di RSW. Secara rutin, relawan juga menjadwal untuk membawa anak-anak ke studio musik untuk bermain band secara lengkap. Mereka sangat sukacita. Di tempat ini mereka didorong untuk punya impian menjadi pemain band atau penyanyi yang handal dan tersohor seperti Klanting, pemenang Indonesia Mencari Bakat.
Kami juga memperhatikan secara mendalam kehidupan pribadi mereka. Ternyata sering kali anak-anak ini terpaksa makan hanya sekali sehari. Itu pun setelah dapat uang dari mengamen. Soalnya, pendapatanya sehari sebelumnya tidak mencukupi. Tapi ada juga di antara anak yang punya kewajiban harus setiap hari menyetor uang belanja kepada orangtuanya atau walinya. Pilu rasanya hati ini mendengar keluhan mereka ada yang belum sarapan pagi, atau belum makan siang, padahal sudah pukul 15.00 WIB. Itu sebabnya, kami mencoba mengusahakan ada stok beras, sekalipun beras bulog, ada di RSW. Supaya sewaktu-waktu bisa dimasak bersama. Lauknya bisa Indomie campur telor. Jadi bisa mereka makan bersama.
Selain itu, kami juga menjadwal setiap Jumat pukul 17.00-18.00 WIB, anak-anak wajib ikut ibadah bersama. Diupayakan dengan metode pelayanan yang kreatif agar tidak membosankan, waktunya cukup sejam saja. Selebihnya anak-anak yang punya masalah, bisa Konseling Pastoral dengan para relawan, atau dengan 2 orang mahasiswa tingkat akhir dari STT Paulus (Desy dan Elisabet Haloho) yang belakangan bergabung karena tertarik dengan pelayanan ini. Kegiatan ini ditutup dengan makan gorengan bersama.
Setiap Sabtu Pukul 16.00-18.00 WIB adalah waktu latihan musik bersama. Anak-anak berlatih musik, berlatih lagu-lagu yang akan ditampilkan. Bagi yang belum tahu musik akan dilatih. Ada latihan vocal. Berlatih lagu rohani untuk persiapan tampil pada cara-acara gereja atau lembaga lainnya yang berbau kristiani. Kegiatan ini ini ditutup dengan makan bersama. Biasanya mereka dibelikan nasi bungkus serba enam ribu. Sejak mereka masuk dalam model pemberdayaan ini, kami dari pihak LCF berkomitmen, akan terus memberikan pendampingan, bimbingan rohani dan jasmani, serta memberikan advokasi apabila diperlukan hingga mereka mulai bisa mandiri. Pada siang hari para anak binaan boleh datang dan istirahat di Rumah Singgah WARNA yang beralamat di Jl. Ngumban Surbakti No. 36b Simpang Pos Padang Bulan Medan. Juga bagi anak-anak yang tidak ada tempat tinggal, rumah singgah adalah tempat menginap yang nyaman buat mereka. Kami menjadwal pembinaan untuk mereka. Lingkupnya, bina rohani/watak, bina jasmani, dan skill of life. Kami juga berkomitmen melakukan semua ini dengan akuntabilitas yang sebaik-baiknya, demi menjaga kepercayaan para pendonasi dan terutama untuk kemulian Tuhan.
 Sanggar Alang-Alang

KOMPAS.com - Di mata Didit Hari Purnomo (52), pendidikan harus bisa diakses oleh siapa pun, bahkan oleh anak-anak usia belasan tahun yang tak pernah mengenal arti “rumah” dan kasih sayang. Kesadaran ini memantiknya untuk membentuk Sanggar Alang-Alang, tempat ratusan anak jalanan di Kota Surabaya belajar tentang kehidupan. Sejak berdiri 16 April 1999, Sanggar Alang-Alang (SAA) tetap setia pada tujuan awal, yakni menyediakan pendidikan gratis untuk anak-anak jalanan. Di SAA, anak jalanan disebut dengan anak negeri. SAA menjadi rumah tempat makanan, seragam, ruang belajar, dan ruang bermain cuma-cuma bagi mereka. Didit menyebut SAA sebagai pendidikan berbasis keluarga. Di sanggar, Didit menjadi bapak. Istrinya, Budha Ersa, sebagai mama. Sebanyak 187 anak usia 6-17 tahun di SAA adalah bagian dari keluarga besar. Untuk menggantikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), Didit hanya menuntut satu hal dari anak-anaknya, yakni bersikap sopan. Setiap masuk sanggar, anak-anak selalu dalam kondisi bersih. Mereka menyalami dan memeluk satu sama lain dan menghindari kata-kata kasar dan jorok. Bagi Didit, ini bagian dari pendidikan perilaku; “ jika setiap hari selama sebelas tahun, seorang anak jalanan bisa diajar berperilaku sopan, tentu perilakunya akan berubah,” ujar pensiunan pegawai TVRI ini. Pendidikan perilaku hanya satu dari pelajaran yang diajarkan di SAA. Meskipun Matematika diajarkan, SAA menitikberatkan pada ilmu-ilmu praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan anak jalanan; “ belajar bukan hanya teori, melainkan soal implementasi. Ini yang dibutuhkan anak jalanan agar tidak kembali ke jalan,” katanya.
Hingga kini, setidaknya empat program sudah dijalankan, yakni bimbingan belajar anak sekolah dan putus sekolah, bimbingan anak berbakat, bimbingan anak perempuan rawan, dan bimbingan ibu dan anak negeri.

Pendidikan Praktis
Keempat program ini difokuskan pada pengetahuan praktis. Misalnya saja, bimbingan anak perempuan rawan yang ditujukan untuk anak jalanan perempuan dan pekerja rumah tangga.
Setiap tiga hari dalam seminggu, tim SAA menyambangi anak jalanan untuk mengajari mereka tentang kesehatan reproduksi, cara membela diri, dan cara melaporkan kepada polisi jika dilecehkan secara seksual. Lain lagi dengan program Bimbingan Ibu dan Anak Negeri (BIAN). Program ini lahir setelah Didit melihat realitas di lapangan yang keras dan suram. Kemiskinan dan kebodohan telah merenggangkan hubungan orangtua dan anak. Imbasnya, keluarga terpecah, anak-anak pun lari ke jalanan. Banyak anak yang dieksploitasi oleh orangtuanya untuk bekerja di jalanan. Dalam kaitan ini, BIAN ditujukan untuk anak usia taman kanak-kanak dan ibunya. Sebagai pengganti kursi, anak-anak duduk di pangkuan ibundanya. Dengan demikian, bukan hanya anak yang belajar, ibu juga belajar meluangkan waktu untuk anaknya; “kami berharap, dengan demikian tak ada lagi ibu yang menyuruh anaknya mencari uang di jalan,” kata Didit.
Di luar kelas, anak-anak bisa berlatih alat musik, tari, dan juga tinju. Mereka yang berbakat akan diikutkan kejuaraan tingkat daerah, bahkan nasional. Jika sudah berusia 18 tahun, mereka harus meninggalkan sanggar dan memulai kehidupannya sendiri. “Jika mereka kembali ke jalan, artinya mereka tidak lulus. Kalau tidak, berarti lulus,” kata Didit. Pemerintah Kota Surabaya juga mengapresiasi langkah Didit. Apalagi, program rumah singgah Dinas Sosial lebih banyak gagalnya. Program yang dibuat lembaga swadaya masyarakat pun hanya berjalan ketika ada dana.
”Selama ini anak jalanan hanya jadi obyek proyek LSM, sementara miliaran rupiah untuk rumah singgah terbuang percuma,” kata Didit.
SAA juga menjadi rujukan bagi mahasiswa dan dosen yang meneliti metode pendidikan anak jalanan.

Kasih sayang
Bertahan 11 tahun, Didit menyebut satu kunci keberhasilannya. ”Kasih Sayang,” kata kakek satu cucu ini. Kasih sayang adalah pendidikan hidup yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Mereka dialpakan dan dianggap sampah masyarakat. Penilaian ini bagi Didit salah besar. Dia membuktikannya 11 tahun lalu ketika menyambangi Terminal Joyoboyo, tempat berkumpul anak jalanan. Di balik penampilan anak-anak yang kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak yang mendamba rumah dan perhatian. Jika didekati baik-baik, mereka akan membuka diri.
Hati Didit tergugah melihat anak-anak yang menggelandang sejak kecil. Ada juga anak-anak dari tukang cuci, tukang becak, pencopet, dan kernet bus yang tak pernah diperhatikan. Di balik toilet Terminal Joyoboyo itulah perjumpaan pertamanya dengan dunia anak jalanan. Pelan tapi pasti, pertemanan mereka terajut, dan setiap malam Didit mulai mengajari banyak hal. Banyak orang menamai mereka ”komunitas sekolah malam”. Setahun lebih kegiatan itu berjalan hanya bermodalkan niat baik dan sebagian gaji Didit. Barulah tahun 1999, berkat derma dari orangtua murid Surabaya International School, Didit mendapat sumbangan Rp 5 juta. Uang itu dia gunakan untuk mengontrak rumah dua tahun di belakang Terminal Joyoboyo. Untuk menyokong kehidupan anak-anak, SAA bergantung pada donasi pengusaha. Namun, kini SAA memiliki pendapatan dengan mengisi acara musik dan tari di sekolah. Yang paling membanggakan bagi Didit, beberapa alumni SAA berhasil berdikari. Adi Hartono, misalnya, diterima di Universitas Negeri Surabaya lewat jalur prestasi. Adi yang enam tahun tinggal di SAA hanya mengikuti kejar paket A dan B, kemudian mendaftar ke sekolah menengah kejuruan.
”Adi yang sebelumnya anak jalanan bisa diterima di pendidikan formal. Saya senang luar biasa,” kata Didit. Ada lagi, Mu’ad (18). Dua tahun lalu, Kompas bertemu Mu’ad yang mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dia buta huruf hingga usia 16 tahun. Namun, kini Mu’ad menjelma menjadi pemuda percaya diri yang terampil menggunakan komputer.
Didit selalu mengibaratkan anak jalanan seperti alang-alang, Dia kian optimistis, alang-alang binaannya memiliki tempat sendiri di masyaraka


 Kampung Belajar

KOMPAS.com - Persoalan angka putus sekolah tinggi di daerah pelosok tidak bisa diatasi semata dengan mendekatkan sekolah atau membebaskan biaya pendidikan. Perlu penyadaran kultur lewat strategi pendekatan pendidikan nonformal yang persuasif-atraktif. Atas alasan inilah kemudian Roni Tabroni (31) bersama rekan-rekannya para relawan mendirikan Kampung Belajar di wilayah-wilayah pelosok di Jawa Barat. Sekilas, Kampung Belajar ini tidak ubahnya taman bacaan yang ada di desa. Tetapi, sebetulnya tidaklah sesederhana itu. Taman bacaan hanyalah pintu masuknya supaya anak-anak dan ibu-ibu serta warga setempat tertarik untuk mau belajar dan mengembangkan dirinya, ungkap Roni, yang sehari-hari berprofesi sebagai dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD), Bandung, Jawa Barat.
Kampung Belajar tepatnya adalah pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Di dalamnya terdapat sekaligus kegiatan kepustakaan, pendampingan belajar, pemberantasan buta huruf latin dan Al Quran, hingga pembekalan keterampilan bagi ibu-ibu rumah tangga.
Sejak pertama berdiri awal 2008 di Desa Mandalasari, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Kampung Belajar dalam waktu singkat direplikasi dan berdiri di tiga daerah lainnya, yaitu Sukahening dan Sukaraja di Tasikmalaya, serta Cibingbin di Kuningan. Dalam waktu singkat pula, keberadaan Kampung Belajar mampu menyedot animo masyarakat sekitar, anggotanya kini mencapai ribuan orang. Setiap muncul buku-buku baru, mesti itu laris dipinjam. Buku-buku koleksinya pun terus bertambah, kini mencapai lebih dari 4.000 buah.

Gratis
Untuk mendaftar jadi anggota ataupun menyewa, pengunjung tidak dimintai pungutan sepeser pun. "Mereka mau datang saja sudah bagus. Tidak perlu kami membebani lebih," tuturnya. Adalah sebuah kebahagiaan baginya melihat anak-anak di desa terpencil ini kembali bersemangat belajar. Di wilayah terpencil, mayoritas anak-anak usia 6-15 tahun telah putus sekolah. Kondisi orang-orang tua tidak kalah menyedihkan, banyak yang buta huruf. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan kebodohan dan kemiskinan. "Di sini, anak perempuan, keluar dari SD, harus siap putus sekolah, lalu jadi TKW. Sementara, anak laki-laki lebih banyak diminta membantu di ladang. Ini tidak bisa mudah begitu saja diintervensi", ungkapnya. Yang membuatnya sedih, tidak jarang anak-anak usia SMP ini ditolak saat mendaftar sekolah karena ternyata belum mahir calistung (baca, tulis, dan menghitung). Banyak dari mereka yang tidak pede kembali ke sekolah sehingga akhirnya pilih jadi buruh dan TKW, tuturnya menunjuk kondisi di Cipatat. Membuat supaya anak-anak ini mau berkunjung ke Kampung Belajar, awalnya juga tidak mudah. Untuk menarik mereka datang, dibantu para relawan, Roni punya pendekatan yang unik. Misalnya, ketika liburan sekolah tiba, mereka mengadakan permainan grup, outbound, botram (makan bareng), hingga pemutaran film-film mendidik dan menyenangkan.
Lain lagi strategi untuk mengundang ibu-ibu buta huruf agar dengan senang hati belajar calistung. "Biasanya, kami kemas dengan acara keterampilan, misalnya, bikin kue. Dari sini, kan, muncul resep, misal, butuh terigu satu kilo. Nah, dari sini, mereka pelan-pelan tanpa sadar belajar membaca dan mengenal angka", ungkap Roni. Para relawan yang dibebani mengajar bukan sembarang tutor. Mereka sebelumnya telah dibekali dengan pendidikan dan pelatihan dengan metode ACM (aku cepat membaca) yang telah dikembangkan sejumlah pakar pendidikan. Sementara, untuk memberantas buta huruf Arab, digunakan metode Al-Barqi dengan proyeksi dalam delapan jam sudah bisa membaca.

Relawan-Relawan
Kampung Belajar mengandalkan relawan-relawan di dalam operasional kegiatannya. Tutor, pengajar, hingga penjaga taman bacaan berasal dari berbagai unsur, baik mahasiswa dari UIN Sunan Gunung Djati maupun guru dan pelajar di desa setempat. Namun, jumlahnya saat ini hanya 10 relawan. Dengan dikelola oleh unsur warga setempat, akseptansi masyarakat diharapkan lebih tinggi. Di Kuningan, misalnya, relawan penjaga taman bacaan adalah seorang pelajar kelas dua SMP. "Soalnya, di sana, anak SMP ini yang paling tinggi sekolahnya, dibandingkan lainnya"", katanya.
Roni bercerita, Kampung Belajar merupakan bagian dari program TEPAS Institute, sebuah organisasi pemberdayaan masyarakat yang diikutinya. "Kebetulan, oleh TEPAS, saya ini kebagian tugas di wilayah Bandung Barat. Ketika melihat kondisi di sana, saya berpikir, warga membutuhkan hal yang nyata", paparnya. Namun, kemudian, banyak pihak yang bertanya-tanya, dari mana Roni dan Kampung Belajar bisa mendapatkan banyak koleksi buku dalam waktu singkat, padahal tanpa memungut bayaran dari warga. "Ini didapat dari donatur dan kerja keras", jawab Roni. Ia mengembangkan jaringan dengan organisasi-organisasi sosial, badan perpustakaan daerah, termasuk penerbit buku, untuk bisa mendapatkan sumbangan buku. Para relawan, khususnya mahasiswa, juga digerakkan untuk mengumpulkan buku-buku di kampus.
Namun, ujar Roni, tidak jarang pula pihaknya melakukan jemput bola, meminta sumbangan buku. Bahkan, pernah ia menyelamatkan buku yang nyaris dibuat bubur kertas.








Internet
Kini, pencarian donatur buku bahkan sudah dikembangkan jauh, yaitu melalui media internet. Situs jejaring sosial Facebook digunakan, termasuk laman (website) www.kampungbelajar.com.
Dalam dua tahun terakhir, minat membaca warga di lokasi Kampung Belajar terus meningkat. Sayangnya, pihaknya tidak bisa setiap saat menambah dan memperbarui koleksi.
"Padahal, meskipun sudah lecek, cetakannya lama, asalkan masih terbilang keluaran baru seperti novel Laskar Pelangi, mesti habis dipinjam", ungkapnya. Namun, repotnya, karena tidak memberlakukan pola pendaftaran anggota secara ketat, terkadang, buku ini lama dipinjam, tidak dikembalikan. "Anggap saja sedang keliling-keliling, suatu hari nanti kembali sendiri kok. Mereka, kan, sadar, warga lainnya juga sama-sama butuh", ucapnya tersenyum. Dia mengharapkan, warga perkotaan yang jauh lebih beruntung mau peduli terhadap pendidikan di daerah pelosok. Paling tidak, dengan turut berpartisipasi menyumbang buku bacaan bekas. Sedikit, tapi amat berarti buat mereka. (diunduh 13 April 2010; 10:30 WIB)




Tulisan ini disampaikan dalam
Pelatihan Pelayanan Anak Jalanan di Yayasan Penginjilan dan Persekutuan Doa (YPDPA) Medan, Minggu 03 Juli 2011



BIOGRAFI

Penulis adalah perintis dan gembala sidang di GEREJA PERHIMPUNAN INJILI BAPTIS INDONESIA (GPIBI) Syalom di Pancurbatu, Koserna, dan Jambi. Merintis dan memimpin Lembaga Cahaya Fajar yang membuka pelayanan Recovery untuk pemulung dan gelandangan di Kota Medan, sekaligus merintis dan memimpin Rumah Singgah Warna di Simpang Pos Padang Bulan Medan. Sehari-hari penulis adalah guru PAK SMAN 1 Pancurbatu. Sebagai dosen di STT Paulus Medan, dan Ketua Prodi PAK di STTSU Medan.


Jumat, 01 Juli 2011

Selektif Memilih Kampus

Memilih Perguruan Tinggi tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Apalagi bagi calon Mahasiswa yang hendak menimba ilmu dalam dunia kampus, dan sudah tentu calon mahasiswa acapkali dihadapkan pada pilihan rumit. Sementara itu, pada lain pihak setiap Perguruan Tinggi yang ada pastilah menginginkan para calon Mahasiswa dapat memilih kampus mereka. Guna memikat hati para calon mahasiswa baru, hampir keseluruhan Perguruan Tinggi mengemas strategi jitu untuk menampilkan kampus yang dapat menjadi selera bagi calon mahasiswa. Sudah barang tentu politik PENCITRAAN adalah pilihan yang cerdas agar mahasiswa baru tertarik masuk dalam Perguruan tersebut.

Biasanya yang sering kita lihat adalah promosi besar-besaran yang dilakukan Perguruan Tinggi. Demi menggaet calon mahasiswa, ada kampus yang terkadang mencuri start didalam mensosialisasikan Perguruan Tingginya; dalam arti, jurus yang digunakan umumnya meminta bantuan alumni untuk mempromosikan kampusnya kepada calon mahasiswa baik dengan cara terbuka ataupun tersembunyi.
Selain itu, pihak kampus memang cerdik mengemas citra sehingga para calon mahasiswa tertarik masuk dalam Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Cara lain yang juga digunakan Perguruan Tinggi yakni dengan menampilkan prestasi kampus terhadap alumninya yang telah sukses dalam persaingan pasar kerja.

Ada pula kampus yang menampilkan fasilitas maupun infrastruktur kampus yang lebih unggul dibanding Perguruan Tinggi lain. Iklan di koran atau televisi, brosur, pamplet dan juga pihak kampus masuk ke sekolah-sekolah di desa, merupakan pilihan strategis dalam mempromosikan Perguruan Tinggi agar para calon mahasiswa jatuh cinta dengan kampus tersebut.

Politik pencitraan yang ditempuh Perguruan Tinggi dalam perjalanan promosinya terkadang membuat bingung atau bahkan kabur bagi orang tua dan juga calon mahasiswa. Masalahnya cara di atas secara seragam hampir semua dilakukan Perguruan Tinggi. Alhasil, para calon mahasiswa dan orang tua sulit memilih, karena semua yang ditampilkan Perguruan Tinggi baik-baik dan seakan kampus tersebut tak memiliki kekurangan. Selain itu strategi politik pencitraan acap menafikan kejujuran yang sejatinya dijunjung tinggi dalam dunia akademik, Perguruan Tinggi menggunakan media pencitraan dengan tawaran yang seakan-akan menjanjikan harapan yang lebih baik bagi peserta didiknya.

Beberapa alternatif pilihan bagi para calon mahasiswa baru dalam memilih Perguruan Tinggi, adalah :

1)Memilih Perguruan Tinggi / Kampus favorit dengan biaya mahal
2)Perguruan Tinggi / Kampus yang biasa saja
3)Perguruan Tinggi / Kampus yang bernuansa religius, dan masih banyak lagi kriteria lain bagi para calon mahasiswa untuk menjatuhkan pilihan hatinya menempuh jenjang Perguruan Tinggi / Kampus yang menjadi idaman.

Sehubungan dengan pilihan nomor 3 .. perguruan tinggi / kampus yang bernuansa religius juga acapkali terlibat dalam hal-hal tersebut. Adanya kampus-kampus teologi yang hanya sebatas mengadakan proses perkuliahan, tetapi belum diberi izin untuk mengadakan ujian negara .. ya mau tidak mau akhirnya mahasiswa tersebut ditumpangkan ke kampus lainnya untuk mengikuti ujian negara guna mendapatkan izasah negara. Sudah tentu hal ini membuat mahasiswa tersebut menjadi repot dan tentunya predikat kelulusan tidaklah berasal dari kampus dimana ia menerima pengajaran selama ini (proses perkuliahan) ..
Selain itu ada juga kampus / perguruan tinggi teologi yang menerima mahasiswanya dan mengadakan perkuliahan hanya sekali dalam sebulan bahkan 2 atau 3 bulan sekali, dan kalau tidak datang-datang juga tidak apa-apa ... yang penting pada waktu ujian negara serta wisuda datang. Tentu ini juga mengakibatkan mutu pendidikan yang diterima oleh mahasiwa tersebut tidaklah baik (sangat jauh sekali dari yang diharapkan) ....
Ada juga kampus teologia yang tidak memperhatikan mahasiswanya dengan baik dalam arti tidak memperhatikan kebutuhan spritualitasnya .. kampus tersebut hanyalah menekankan ilmu pengetahuan saja.. Hal ini tentunya akan menjadikan mahasiswa yang pintar tapi tidak bermoral. Itu sama saja sia_sia ... Dan masih banyak lagi fenomena-fenomena yang tidak mungkin disebutkan satu persatu

Wahai para calon Mahasiswa dan orangtua ... Selektiflah Memilih Kampus !!!!!

Pemaparan di atas merupakan sekelumit perjalanan Perguruan Tinggi dalam dinamika seleksi penerimaan mahasiswa baru. Namun, kita berharap sebagai calon pemimpin bangsa, garda perubahan, mahasiswa tidak menjadi korban politik pencitraan yang dilakukan Perguruan Tinggi. Calon mahasiswa baru sejatinya bisa cerdas dalam memilih kampus yang nantinya menjadi tempat pergulatan ilmu pengetahuan dan spritualitas. Pada titik itu, penulis memiliki tawaran rasional agar mahasiswa baru tak keliru memilih Perguruan Tinggi Teologi. Dengan perkataan lain, jangan sampai para calon mahasiswa menyesal di belakang hari ketika sudah menjatuhkan pada pilihan tertentu dalam menempuh jenjang pendidikan tinggi teologi.

Dinamika kampus dengan ragam ilmu pengetahuan kerap mengalami pasang surut, kadang naik terkadang turun. Dengan arti sederhana, ilmu pengetahuan yang menjadi basis kekuatan bagi mahasiswa dalam setiap Perguruan Tinggi Teologi tidaklah sama porsinya. Indikator yang paling nyata: tradisi ilmiah merosot tajam, membaca (realitas sosial) buku, berdiskusi, apalagi menulis sangat minim. Sebaliknya, gaya hidup hedonis, cara berpikir instan, budaya konsumerisme adalah sederet dekradasi yang melanda dunia kemahasiswaan. Di kota-kota besar, berbagai Perguruan Tinggi Teologi dihadapkan pada realitas objektif bahwa kini banyak sekali mahasiswa yang lebih ikhlas mengeluarkan uangnya demi memenuhi kebutuhan gengsi, citra, hasrat status sosial.

Misalkan saja, ada mahasiswa yang lebih memilih Perguruan Tinggi yang memberikan HP bagus pada calon Mahasiswanya atau juga memberikan komputer, pulsa, dll. Lebih dari itu, kehidupan mahasiswa kini lebih banyak dipengaruhi oleh gaya hidup yang mengumbar kemewahan. Sudah bukan rahasia umum, seringkali kali dan bahkan jumlahnya lebih banyak mahasiswa yang tergiur dengan hal-hal seperti itu .. karena kuatnya arus krisis moral yang terjadi ditengah-tengah kehidupan manusia. Misalnya kehidupan yang doyan main ke mall, tempat hiburan malam daripada mereka berdiam lama di perpustakaan sebagai gudang ilmu pengetahuan dan budaya serba instan dan tidak mau capek ..

Itulah dinamika kemahasiswaan yang terjadi baik di dalam maupun di luar kampus. Kondisi objektif yang demikian itu sejatinya dapat menjadi gambaran komprehensip khususnya bagi mahasiswa baru dalam menentukan pilihan menempuh jenjang Perguruan Tinggi Teologi yang menjadi tempat pergolakan ilmu pengetahuan serta spritualitasnya kelak.

Dengan maksud sederhana, sejatinya para calon Mahasiswa sebelum memilih Perguruan Tinggi Teologi mengetahui lebih dahulu mana perguruan tinggi teologi yang masih kuat memegang tradisi ilmiahnya, paling tidak; budaya membaca, berdiskusi, menulis, masih terlihat jelas dalam iklim kampus yang dinamis serta kegiatan spritulitas kampusnya. Dengan demikian, selain para calon mahasiswa tidak menjadi korban dari politik citra kampus, calon mahasiswa baru juga mendapat ilmu pengetahuan yang brilian serta spritualitas kerohanian yang baik, dalam iklim kampus yang sudah menjadi pilihan.

Sehubungan dengan itu, maka ada baiknya para calon mahasiswa baru dan orangtua mempertimbangkan saran-saran dibawah ini atas kriteria pemilihan kampus teologi yang baik, yang dimiliki oleh Sekolah Tinggi Teologi Sumatera Utara (STTSU) Medan, yaitu :

1. STTSU (dahulu IAKPSU) telah terdaftar pada Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI, dan diberi hak menyelenggarakan ujian negara, baik S1 Program Studi Teologi maupun Program Studi Pendidikan Agama Kristen

2. Merupakan Sekolah TInggi Teologi senior di Medan dan di bahkan di Sumatera Utara yang sudah teruji, yang didirikan pada tahun 1982. Ribuan ALUMNI tersebar di Nusantara; baik yang menjadi Pendeta, Guru PNS ataupun Honorer dan Birokrat di Kementerian Agama RI

3. Para Pengajar yang memiliki kompetensi ilmiah dengan berpendidikan S2 dan S3, sekaligus memiliki komitmen untuk mendekatkan diri Mahasiswa dengan sekolah, gereja serta masyarakat

4. Memiliki perpustakaan yang representatif dengan koleksi ribuan buku, ditambah jurnal serta majalah. Adanya Fasilitas yang representatif mulai dari ruang perkuliahan yang baik, ketersediaan multimedia, asrama, dan juga terdapat beberapa aspek pendukung lainnya; seperti Bengkel Pendidikan Agama Kristen, Kegiatan Ekstra Kurikuler Musik dan lain-lain.

5. Diasuh secara Oikumenis, dimana para dosen dan mahasiswa yang terdiri dari berbagai latarbelakang denominasi gereja

6. Memberi penekanan kepada keseimbangan keutuhan studi teoritis dengan spritualitas dan pengabdian masyarakat

7. Uang Kuliah yang terjangkau dan tersedianya Beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi.


Kiranya hal ini dapat menjadi pertimbangan yang matang bagi para calon Mahasiswa dan orangtua didalam memilih dan menempatkan anak-anaknya pada perguruan tinggi teologia .. Tuhan Memberkati...

Penerimaan Mahasiswa diadakan pada pada Bulan Juni - September setiap tahunnya .
Perkuliahan dimulai bulan September ..

Kegiatan Perkuliahan

Perkuliahan I : Pukul 14.00-18.00 WIB, untuk Prodi Pendidikan Agama Kristen (PAK)
Perkuliahan II : Pukul 18.00-20.00 WIB, untuk Program Studi Teologi Kependetaan


Biaya Pendidikan

1. Pendaftaran Rp. 50.000
2. Senat Mahasiswa Rp. 50.000
3. Perpustakaan Rp. 100.000
4. Pembinaan Mahasiswa (MASPER) Rp. 300.000
5. Uang Kuliah Per Tahun Rp. 1.500.000


Syarat Pendaftaran

1. Sudah Lahir Baru
2. Foto Copy Izasah SLTA dilegalisir (3 lembar)
3. Foto Copy Surat Keterangan Baptis (2 lembar)
4. Pas Photo terbaru, 3x4 / warna (4 lembar) dan 1,5 x 2 / warna (2 lembar)
5. Membayar Cicilan Uang Kuliah Pertama, Uang Pendaftaran, Masper, Perpustakaan
6. Khusus bagi Mahasiswa Transfer .. Membawa Transkrip Nilai yang dilegalisir dari
Perguruan Tinggi Asal beserta Surat Keterangan Pindah (2 Lembar)